Film Bisikan Terumbu, Spirit Teguh Ostenrik Tanam Karya Instalasi ke Laut

Life Hack Words, Jakarta - Terumbu karang di bawah laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara itu begitu rimbun. Menyembunyikan kerangka besi yang menjadi rumpon, tempat coral-coral itu menempel dan bertumbuh. Ikan-ikan badut menari-nari di atas terumbunya yang keemasan. Ada yang mengintip di balik rimbunnya. Membuat perupa Teguh Ostenrik terpana sejenak saat berenang di depannya. Seketika ia berteriak. “Anakku wis gede! Anakku wis gede (anakku sudah besar)!” Suaranya terbungkam di balik gelembung dari alat selamnya.

Instalasi Seni Teguh Ostenrik Ditanam di Laut

Ia terhenyak. Karya instalasi ARTificial Reef yang berjudul “Domus Longus” yang ditenggelamkan di sana pada 5 September 2015 sudah tertutup terumbu saat kedatangannya empat tahun kemudian. Bentuk karyanya menyerupai atap rumah yang sebenarnya terinspirasi bentuk ikan endemik di Laut Wakatobi, yakni ikan kupu-kupu berhidung panjang.

“Begitu nyemplung, aku nangis. Itu sudah penuh terumbu. Di depannya itu saya teriak-teriak,” tutur Teguh mengisahkan salah satu scene dalam film dokumenter Bisikan Terumbu di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta, Jumat, 4 Juli 2025 malam.

Film berdurasi sekitar 25 menit besutan sutradara Arfan Sabran itu diputar perdana di sela agenda pameran seni rupa Artjog 2025 bertema “Amalan”. Film yang mengisahkan perjalanan seniman berusia 75 tahun itu menggarap 12 karya seni instalasi yang diberi nama ARTificial Reef. Lalu dicemplungkan di delapan laut yang beragam di Indonesia.

Sutradara film Bisikan Terumbu (kiri), Arfan Sabran, Chief Strategy Officer Yayasan Terumbu Rupa, Mira Tedja, seniman Teguh Ostenrik dalam talkshow pemutaran perdana film di JNM, Yogyakarta, 4 Juli 2025. Tempo/Pito Agustin Rudiana.Ter

Tergugah karena Laut Terluka

Bermula usai kepulangannya dari Eropa yang ditinggali selama 16 tahun, Teguh melakukan penyelaman pada 2000. Ia menemukan terumbu-terumbu karang yang rusak, bahkan hancur akibat pengeboman. “Saya pulang menemukan laut terluka. Di mana-mana, koral ambrol. Saya ingin berbuat sesuatu, tapi nggak tahu apa,” kata Teguh yang malam itu didampingi istrinya, Mira Tedja dan Arfan di atas panggung.

Pertanyaan itu terjawab pada 2013, saat ia diundang sebagai seniman residensi di Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia mendapat jawaban usai duduk bersama nelayan untuk mendengar cerita mereka tentang ikan-ikan laut yang hilang, tentang bom ikan.

Kesadarannya makin tajam setelah berinteraksi dengan masyarakat pesisir setempat dan diperkuat hasil riset pakar perikanan dan kelautan serta teknik sipil. “Saya tak melihat laut sebagai obyek estetika, tapi tubuh hidup yang bicara,” ujarnya menambahkan.

Ia mendapatkan jawaban, yakni membuat karya patung dari sampah besi untuk dijadikan rumpon. Karya itu dipresentasikan dua pekan di sana. Dari situ pula, Teguh menemukan nama karya yang dirasa tepat, yakni ARTificial Reef, yang terus dipakai dalam karya-karya instalasi rumpon selanjutnya. “Kata “Art” itu sangat penting. Saya ingin membuat karya yang ada peruntukannya, tapi juga artistic,” ucapnya menjawab soal nama karya itu.

Besi-besi bekas pakai, limbah logam itu dibersihkan agar tak meracuni laut. Lalu digunakan lagi dengan bentuk beragam sekaligus mengirim pesan kepada publik tentang pemanfaatan barang daur ulang. Bahkan ada pengalaman spiritual yang ia rasakan saat menyambung kembali besi-besi bekas itu. “Seperti merajut kembali hubungan manusia dengan alam,” tuturnya.

Usai membuat karya pertama, setahun kemudian, didirikanlah Yayasan Terumbu Rupa yang menaungi program-program ARTificial Reef selanjutnya. Misinya adalah menggunakan instalasi seni menjadi meda karang bertumbuh. Namun juga menumbuhkan kepedulian dan kesadaran orang-orang yang ada di darat, bahwa ekosistem laut itu penopang kehidupan di darat. "Kami menyadari, apa yang kami lakukan di bawah laut tak akan memberi dampak kalau daratnya tidak digarap,” ujar Mira sebagai Chief Strategy Officer Yayasan Terumbu Rupa.

Berharap pada Anak Muda

Teguh pun berlanjut untuk menenggelamkan karya-karya instalasi ARTificial Reef berikutnya. Salah satunya di Wakatobi pada September 2015. Ada juga “Domus Musculli” di Pulau Pelangi, Kepulauan Seribu pada Desember 2015. Ada “Domus Arcae Similis” di Pulau Sepa, Kepulauan Seribu pada Oktober 2017. Juga “Dokus Piramida Dugong” di Pulau Bangka.

Yang terbaru adalah “Domus Frosiquilo” di Pantai Jikomalamo di Ternate, Maluku Utara pada September 2019. Karya berbentuk kubah itu dipenuhi ornament ikan di bagian dindingnya. Sebelum menjadi rumpon, karya itu dipamerkan dalam gelaran Artjog 2019. Ada beberapa kolektor yang terbuka matanya untuk membeli karya itu namun tak memilikinya secara fisik. "Mereka membeli gagasan. Itu membuat saya semangat,” kata Teguh.

Sebagai seniman, Teguh menyatakan tak sekadar ingin membuat dekorasi seni untuk rumah-rumah biota laut. Ia juga ingin memukul gong, melempar batu ke laut, yang gelombangnya bisa diterima generasi mendatang, bahwa laut teramat menderita.

Menurut dia, saat ada anak muda bertanya, apa arti seni bagi lingkungan? Di situlah ARTificial Reef telah menyentuh sesuatu yang esensial. "Ini soal ajakan untuk kembali menyatu dengan alam. Seni harus kembai pada akar spiritualnya untuk menyembuhkan dan menumbuhkan kembali nilai-nilai yang nyaris terlupakan,” ujar Teguh lewat narasi lisan di pungkasan film itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tarif Trump jadi Fokus Pertemuan Para Menlu Asean di Malaysia

Baru Melantai di Bursa, Harga Saham Indokripto Koin Semesta (COIN) Melesat 35%

Unggahan Terakhir Arya Daru Pangayunan Sebelum Ditemukan Tewas dengan Kepala Dilakban